Minggu, 15 Juli 2012

LAPORAN BACAAN “SUBJEKTIVITAS DALAM HISTORIOGRAFI”

Judul buku                    : Subjektivitas Dalam Historiografi
Pengarang                     : DR. Poesporodjo
Tahun Penerbit             : 1987
Cetakan                         : I
Tebal Buku                    : ix, 77 halaman

SUBJEKTIVITAS DALAM HISTORIOGRAFI

Bab I Pendahuluan
Dalam metodelogi sejarah, historiografi atau penulisan sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarawan, langkah terakhir, sekaligus langkah terberat. Menurut Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction to Indonesia Historiography hal ini karena dalam langkah terakhir ini lah pembuktian metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah.  Menurut Arthur Marwick dalam The Nature of History, langkah-langkah metodologis yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki validitas objektivitas ilmu, barulah dalam tahap historiografi (tahap akhir) ini disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.
Sejarah dianggap tidak mungkin objektif karena sudah memakai interpretasi dan seleksi. Bahkan dikatakan interpretasi itu adalah sejarah menurut faham seseorang. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksinya dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau  harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah sebagai kebutuhan mendasar historiografi harus lebih dahulu diolah oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunya What is History, mengungkapkan bahwa fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena fakta sejarah itu diberi arti oleh peneliti sejarah. Juga diklaim oleh E. H. Carr bahwa “fakta sejarah tidak pernah sampai kepada kita secara murni, karena fakta tidak terdapat dan tidak dapat berada dalam suatu bentuk yang murni. Fakta selalu dipantulkan lewat pikiran perekam. Akibatnya, jika kita mengambil suatu karya sejarah, perhatian kita jangan terarah pada fakta yang terdapat di dalamnya, tetapi tertuju kepada sejarawan yang menulisnya.”
Maka dalam historiografi, subjektivitas tidak dapat dielakkan, bukan hanya itu penyusunan periodisasi sejarah yang masuk ke dalam proses interpretasi juga tak dapat menghindar dari subjektivitas. Padahal periodisasi merupakan hal penting dalam historiografi sebagai historische vormgeving yaitu pemberian bentuk kepada sejarah dalam bentuk subjektif. Soedjatmoko juga menuliskan bahwa sesungguhnya setiap pembicaraan tentang problema-problema interpretasi sejarah dan sintesi bahan-bahan sejarah yang menjadi suatu kisah yang berhubungan ke dalam historiografi Indonesia modern selalu menjurus pada persoalan-persoalan tentang subjektivitas dan objektivitas.
Akhirnya, metode fenomenologislah yang ditempuh untuk menjawab permasalah subyektivitas dalam historiografi ini. Hal ini untuk mengungkapkan struktur eksistensi manusia, setruktur tahu dan pengetahuan manusia. Sekalipun fenomenologis merupakan cara asing bagi pola ilmiah menurut ilmu pengetahuan alam,  namun bisa menjadi solusi permasalahan yang membelenggu historiografi ini.

Bab II Historiografi Objektif
            2.1 Pragmatisme sejarah
            Masalah penting yang sering kali menghadang penulisan sejarah adalah peristiwa-peristiwa zaman dahulu yang dikemukakan oleh si pengarang dan gejala-gejala pandangan dunia yang timbul dalam zaman si pengarang sendiri, kedua hal ini dianggap sebagai biang subyektif dari pengarang yang menghambat kebenaran sejarah. Minat sejarawan sendiri seperti ajaran-ajaran atau kearifan dari sejarah akan menarik secara alami prasangka-prasangka pribadi sejarawan yang akan membahayakan pengetahuan objektif. Tuntutan kepentingan praktis sering begitu mutlak dirasakan sehingga orang sampai hati mengabaikan evidensi objektif sejarah dan tuntutan metodologis ilmu yang justru akan memberi kesimpulan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dan terungkapnya arti maupun faedah dan ilham dengan benar. Obyektivitas yang dituju historiografi agar mempunyai kapasitas ilmiah seperti ilmu-ilmu lain diartikan sebagai ketidaktersembunyiannya realitas, jadi yang ditunjuk adalah barang itu sendiri. Sebagai subjektivitas yang berada di dunia, manusia membuka selubung realitas. Tetapi, ia membiarkan barang-barang tersebut berada sebagaimana adanya. Jejak-jejak masa lampau harus dibiarkan sebagaimana adanya, jadi tidak di sesuaikan dengan kepentingannya sendiri
2.2 Menuju akurasi dalam historiografi  
Metode sejarah merupakan sebuah perpaduan antara suatu disiplin ilmiah dan seni. Para ahli sejarah mengungkapkan, sejarah sebagai sebuah disiplin ilmiah harus memiliki akurasi, bermain hanya dengan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, namun di sisi lain dalam sebuah penelitian sejarah khususnya dalam histotiografi seorang peneliti sejarah pada akhirnya harus mengeluarkan kemampuan ‘bercerita’ layaknya sastrawan, agar pembaca dapat menikmati hasil penelitian sejarah. A.F Follard dalam Factors in Modern History menganggap bahwa fakta dan angka dapat diibaratkan sebagai tulang-tulang kering. Fakta dan data membutuhkan imajinasi agar bisa hidup dan berarti, bukan hanya kumulasi bahan. Arsip-arsip dan sumber sejarah lainnyalah yang membuat seseorang menjadi sejarawan atau peneliti sejarah, yang mereka wajib memiliki kemampuan menginterpretasi dan mengonstruksi untuk membuat sumber sejarah itu ‘berbicara’. Anggapan seperti sejalan dengan pendapat Nugroho Notosusanto dalam artikelnya Hakikat Subjektivitas-Objektivitas Sejarah yang dimuat di Kompas, 23 September 1974 mengungkapkan: “...dalam tahap analitis daripada metode sejarah ada kemungkinan bahwa kita dapat menjumpai objektivitas sejarah, yakni dengan adanya sumber-sumber yang ‘keras’ yang punya eksistensi di luar pikiran manusia. Tetapi dalam tahap sintesis, khususnya dalam kegiatan yang disebut interpretasi, seorang sejarawan adalah subjektif.” Memang fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan pribadi sejarawan, hingga seorang Benedetto Croce berteori, “Semua sejarah adalah masa kini.” Yaitu sesuai dengan alam pikiran dan zaman pengarang hidup. 

Bab III Masalah Subjektivitas dan Objektivitas
            3.1 Subjektivitas yang tidak subjektivistik
Berkenaan dengan masalah Subjektivitas dan Objektivitas, subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’ karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Di sini harus dibedakan antara subjektivitas dan subjektivisme, yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme bukan subjektivitas. Dalam konsep subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang sebagai “kreasi”, “konstruksi” akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari ketersembunyiannya. Subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual
Menurut Nugroho Notosusanto sejarawan tidak menangkap objek, yakni hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau, namun hanya menangkap idea dari hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau. Lagi pula yang memiliki realitas objektif yang sesungguhnya hanyalah benda nyata, yang dapat ditangkap lebih dari satu indera. Ada pun sejarah adalah proses peristiwa, yang berarti berbeda dengan realitas objektif. Dengan ini maka pemahaman untuk tugas sejarawan makin ke arah titik terang, subjektivitas inilah yang akan membuat seorang peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber atau pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan perbandingan dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan subjektivitas.
3.2 Objektivitas yang tidak objektivistik
            Objektivitas dan objektivistik juga harus dibedakan, objektivitas yang dicapai lewat ilmu pengetahuan alam baru dapat disebut objektivitas, yang memenuhi ketentuan-ketentuan ilmu pengetahuan alam. Realitas atau kenyataan yang ditangkap manusia tidak pernah being-in-itself, sesuatu yang berada-dalam-dirinya-sendiri atau “sesuatu yang mempunyai existensi merdeka di luar pikiran manusia.” Dengan ini maka jelas bahwa ‘subjek’ dan ‘objek’ yang selalu terikat dapat menjauhkan ‘subjek’ dari kesewenang-wenangannya. Begitu pula sejauh objek tidak didewakan sebagai satu-satunya unsur dan meniadakan subjek, maka subjek tidak akan berhenti sebagai subjek riel, maka hal yang objektivistik dapat pula selalu dijauhkan.

Bab IV Subjektivitas Sebagai Dasar Objektivitas
Sesuatu yang berdiri sendiri pada azasnya tiada kaitan dengan atau terpisah dari sesuatu subjek bukanlah sesuatu yang objektif namun sesuatu yang objektivistik. Telah jelas bahwa “sejarah serba objek” dan “sejarah serba subjek” sama sekali tidak dapat dikotomi. Berikut merupakan cara-cara untuk mengatasi subjektivisme dalam historiografi:
4. 1 Peranan Human Richness
Pertama, peran human richness Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh kemampuan intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi. Sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu fakta, namun juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya.
Sejarawan jika tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Jaques Maritain sampai menyatakan bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh individu peneliti sejarah atau sejarawan, kembali pada ketekunan dan kecerdasannya.
4.2 Titik Berdiri-profil
Ini yang kedua, masing-masing peneliti sejarah atau sejarawan melihat dari titik berdiri tertentu yang berbeda. Ini bukanlah pendapat benar atau salah, namun masalah perolehan sesuai dengan titik berdiri kita. Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang berbeda. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita berdiri, kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu. Singkatnya ini menyangkut profil diri kita, sejauh mana kapasitas intelektual, ketekunan, kecerdasan, dan kepercayaan, alam pikiran, budaya, kondisi emosional, hingga “ideologi” kita. Bisa dikatakan “perbedaan titik berdiri” seluruh manusia adalah keniscayaan, tidak ada yang sama persis.
Hal ini menjadikan kegiatan penelitian sejarah yaitu interpretasi bukanlah kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas. Bukan hanya rasional semata-mata dari sejarawan, tapi juga factual, ditunjang oleh fakta-fakta, faktanya pun yang teruji kebenarannya dan harus berkaitan dengan persoalan yang diinterpretasikan.
4. 3 Mengenali anasir sumber distorsi
Ketiga, Mengenali anasir sumber distorsi, hal ini berarti memahami integritas diri sendiri. Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.
Dengan mengenal dan memahami diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika kita tatap lebih lanjut, maka kita akan memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya), penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan sebagainya).

Bab V Beberapa Catatan
            Dapat juga dikatakan kesimpulan buku, yang berisi catatan penerangan untuk menerima tahap akhir metodologi sejarah yaitu historiografi sebagai sesuatu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta untuk memudahkan memahami isi buku yang telah dipaparkan.     
5.1 Ilmu sejarah adalah hasil prestasi intelektual Eropa Barat. Historiografi objektif bermula dari Yunani kuno hingga diterapkannya teknik-teknik yang semakin sejalan dengan tuntutan-tuntutan perkembangan ilmu modern. Berbeda dengan sejarawan tradisional Indonesia yang sama sekali belum kritis dan tidak ada kebutuhan untuk mementingkan fakta. Sejarawan asing jika membahas sejarah Indonesia dianggap lebih abstrak dan “objektif” karena dianggap tidak mempunyai ikatan emosional, sedangkan sejarawan Indonesia terlibat secara konkret eksistensial dengan sasaran studinya.
5.2 Ilmu sejarah berusaha menerangkan masa lampau. Keterangan sejarah adalah jika dan hanya bersauh kuat pada evidensi objektif sejarah. Sesuatu adalah kebenaran sejarah karena mempunyai evidensi objektif sejarah. Tolak ukur kebenaran atau objektivitas sejarah adalah evidensi objektif sejarah, yakni keniscayaan kebenaran sejarah manifes pada  pikiran. Walau begitu, subjektivisme semacam itu bukan tidak dapat diatasi, jika sejarawan waspada terhadap distorsi di dalam dan dari luar, waspada terhadap semua anasir yang dapat merupakan sumber distorsi bagi tercapainya objektivitas sejarah.
5.3 Tidak ada pengetahuan yang tidak bertolak dari suatu situasi interpretasi, artinya tidak ada pengetahuan yang tidak bertolak dari “sesuatu yang dipunyai sebelumnya”,”sesuatu yang diingat sebelumnya”, “sesuatu yang dipegang sebelumnya”. Keterbatasan manusia justru merangsang sejarawan untuk berjuang ke arah objektivitas sejarah dan hendaknya merangsang peningkatan subjektivitas sejarawan. Ilmu-ilmu sosial mau tidak mau akan berhubungan dengan ilmu sejarah, bahkan ilmu sejarah merupakan acuan proses integrasi ilmu-ilmu sosial, karena seluruh perilaku sosial dan budaya manusia akan berkaca pada sejarah, yang kemudian digarap ilmu-ilmu sosial.
5.4 Dengan metode subjektivo-objektif, ilmu didasarkan akan kemungkinannya dan akan konteksnya dalam perspektif rasionalitas yang lebih luas. Metode subjektivo-objektif dianggap status quo ilmu sejarah. Ilmu sejarah menerangkan masa lampau sebagaimana adanya atau menangkapnya dengan kategori-kategori masa kini, namun mengeluarkan pesan dan arti masa lampau dalam rangka memperoleh kakuatan bagi masa kini serta memahami masa kini dan menjangkau masa datang, tetapi tidak tanpa ovidensi objektif sejarah. Masa lampau sebagaimana adanya jelas bukan benda, bukan substansi, karena kalau benda ia akan dapat dianalisis habis seluruh dan setiap unsurnya, dan selesailah tugas sejarawan. Kenyataan, masa lampau adalah bagian integral manusia yang adalah masa lampau-masa kini-masa mendatang. Jadi, realitas manusia tidak bergerak dari masa kini ke masa kini yang lain. Realitas manusia bukan realitas yang berkeping-keping, tetapi suatu kesinambungan, dan masa kini senantiasa menggapai masa depan.
5.5 Kerancuan yang biasa terjadi bertumpu pada anggapan yang luas beredar, namun de facto telah lupa diri pada fenomena tahu dan pengetahuan manusia. Pembedaan subjek dan objek adalah momen analitis kesadaran manusia yang lebih lanjut. Ekspilisitasi fenomenologis fenomena tahu dan pengetahuan menunjukkan validitas penggunaan metode subjektivo-objektif dalam mendekati kenyataan sejarah.

Kesimpulan
            Dengan paparan ini semua, metode berpikir fenomenologis untuk perumusan tanggungjawab ilmiah ilmu sejarah dan historiografi menjadi jelas. Hanya saja yang dapat dikatakan kekurangan karya ini adalah terlalu memperspektifkan perumusan ilmu sejarah dan karenanya historiografi dari wawasan intelektual Barat, hal ini mungkin juga dapat dimaklumi karena kita belum menemukan perumusan ilmu sejarah dan kebudayaan kita sendiri sekalipun sudah banyak melibatkan para pakar di Indonesia. Bagaimana pun telaah ilmiah dalam buku ini telah sangat baik menjelaskan bahwa historiografi dan ilmu sejarah sudah dapat dianggap bagian dari ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan membangun konstruksi ilmu dan pengetahuan dari sisi fenomenologis. 
Oleh: Ilham Marta Syabana (Mahasiswa UNJ)