Judul
buku
: Subjektivitas Dalam Historiografi
Pengarang : DR. Poesporodjo
Tahun
Penerbit : 1987
Cetakan
: I
Tebal
Buku
: ix, 77 halaman
SUBJEKTIVITAS DALAM HISTORIOGRAFI
Bab I Pendahuluan
Dalam metodelogi sejarah, historiografi atau
penulisan sejarah merupakan titik puncak seluruh kegiatan penelitian sejarawan,
langkah terakhir, sekaligus langkah terberat. Menurut Soedjatmoko dalam bukunya
An Introduction to Indonesia Historiography hal ini karena dalam langkah
terakhir ini lah pembuktian metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin
ilmiah. Menurut Arthur Marwick dalam The
Nature of History, langkah-langkah
metodologis yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai
langkah yang memiliki validitas objektivitas ilmu, barulah dalam tahap
historiografi (tahap akhir) ini disebut art atau seni sehingga sejarah
sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu
dituntut memiliki objektivitas.
Sejarah dianggap tidak mungkin objektif karena sudah
memakai interpretasi dan seleksi. Bahkan dikatakan interpretasi itu adalah
sejarah menurut faham seseorang. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut
pendapat seseorang dan seleksinya dilakukan
dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian
dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau harus
melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah sebagai kebutuhan mendasar
historiografi harus lebih dahulu diolah oleh peneliti sejarah dari data-data
sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunya What is History,
mengungkapkan bahwa fakta sejarah
tidak mungkin dapat objektif karena fakta sejarah itu diberi arti oleh peneliti
sejarah. Juga diklaim oleh E. H. Carr bahwa “fakta sejarah tidak pernah sampai
kepada kita secara murni, karena fakta tidak terdapat dan tidak dapat berada
dalam suatu bentuk yang murni. Fakta selalu dipantulkan lewat pikiran perekam.
Akibatnya, jika kita mengambil suatu karya sejarah, perhatian kita jangan
terarah pada fakta yang terdapat di dalamnya, tetapi tertuju kepada sejarawan
yang menulisnya.”
Maka dalam historiografi, subjektivitas tidak
dapat dielakkan, bukan hanya itu penyusunan periodisasi sejarah yang masuk ke
dalam proses interpretasi juga tak dapat menghindar dari subjektivitas. Padahal
periodisasi merupakan hal penting dalam historiografi sebagai historische
vormgeving yaitu pemberian bentuk kepada sejarah dalam bentuk subjektif. Soedjatmoko
juga menuliskan bahwa sesungguhnya setiap pembicaraan tentang problema-problema
interpretasi sejarah dan sintesi bahan-bahan sejarah yang menjadi suatu kisah
yang berhubungan ke dalam historiografi Indonesia modern selalu menjurus pada
persoalan-persoalan tentang subjektivitas dan objektivitas.
Akhirnya, metode fenomenologislah yang ditempuh
untuk menjawab permasalah subyektivitas dalam historiografi ini. Hal ini untuk
mengungkapkan struktur eksistensi manusia, setruktur tahu dan pengetahuan
manusia. Sekalipun fenomenologis merupakan cara asing bagi pola ilmiah menurut
ilmu pengetahuan alam, namun bisa
menjadi solusi permasalahan yang membelenggu historiografi ini.
Bab II Historiografi Objektif
2.1 Pragmatisme sejarah
Masalah penting yang sering kali menghadang penulisan sejarah
adalah peristiwa-peristiwa zaman dahulu yang dikemukakan oleh si pengarang dan
gejala-gejala pandangan dunia yang timbul dalam zaman si pengarang sendiri, kedua
hal ini dianggap sebagai biang subyektif dari pengarang yang menghambat
kebenaran sejarah. Minat sejarawan sendiri seperti ajaran-ajaran atau kearifan
dari sejarah akan menarik secara alami prasangka-prasangka pribadi sejarawan
yang akan membahayakan pengetahuan objektif. Tuntutan kepentingan praktis
sering begitu mutlak dirasakan sehingga orang sampai hati mengabaikan evidensi
objektif sejarah dan tuntutan metodologis ilmu yang justru akan memberi
kesimpulan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan dan terungkapnya arti maupun
faedah dan ilham dengan benar. Obyektivitas yang dituju historiografi agar
mempunyai kapasitas ilmiah seperti ilmu-ilmu lain diartikan sebagai
ketidaktersembunyiannya realitas, jadi yang ditunjuk adalah barang itu sendiri.
Sebagai subjektivitas yang berada di dunia, manusia membuka selubung realitas.
Tetapi, ia membiarkan barang-barang tersebut berada sebagaimana adanya.
Jejak-jejak masa lampau harus dibiarkan sebagaimana adanya, jadi tidak di
sesuaikan dengan kepentingannya sendiri
2.2 Menuju akurasi dalam historiografi
Metode sejarah
merupakan sebuah perpaduan antara suatu disiplin ilmiah dan seni. Para ahli
sejarah mengungkapkan, sejarah sebagai sebuah disiplin ilmiah harus memiliki
akurasi, bermain hanya dengan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan, namun di
sisi lain dalam sebuah penelitian sejarah khususnya dalam histotiografi seorang
peneliti sejarah pada akhirnya harus mengeluarkan kemampuan ‘bercerita’
layaknya sastrawan, agar pembaca dapat menikmati hasil penelitian sejarah. A.F
Follard dalam Factors in Modern History menganggap bahwa fakta dan angka
dapat diibaratkan sebagai tulang-tulang kering. Fakta dan data membutuhkan
imajinasi agar bisa hidup dan berarti, bukan hanya kumulasi bahan. Arsip-arsip
dan sumber sejarah lainnyalah yang membuat seseorang menjadi sejarawan atau
peneliti sejarah, yang mereka wajib memiliki kemampuan menginterpretasi dan
mengonstruksi untuk membuat sumber sejarah itu ‘berbicara’. Anggapan seperti
sejalan dengan pendapat Nugroho Notosusanto dalam artikelnya Hakikat Subjektivitas-Objektivitas
Sejarah yang dimuat di Kompas, 23 September 1974 mengungkapkan: “...dalam
tahap analitis daripada metode sejarah ada kemungkinan bahwa kita dapat
menjumpai objektivitas sejarah, yakni dengan adanya sumber-sumber yang ‘keras’
yang punya eksistensi di luar pikiran manusia. Tetapi dalam tahap sintesis,
khususnya dalam kegiatan yang disebut interpretasi, seorang sejarawan adalah
subjektif.” Memang fakta membutuhkan interpretasi dan interpretasi melibatkan
pribadi sejarawan, hingga seorang Benedetto Croce berteori, “Semua sejarah
adalah masa kini.” Yaitu sesuai dengan alam pikiran dan zaman pengarang hidup.
Bab III Masalah Subjektivitas dan Objektivitas
3.1 Subjektivitas yang tidak subjektivistik
Berkenaan dengan masalah Subjektivitas dan
Objektivitas, subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’
karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Di sini
harus dibedakan antara subjektivitas dan subjektivisme, yang tidak
diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur
subjektivisme bukan subjektivitas. Dalam konsep subjektivisme, objek tidak
dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang sebagai “kreasi”, “konstruksi”
akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran
keluar dari ketersembunyiannya. Subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam
mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun
kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat
dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan
kejujuran hati dan kejujuran intelektual
Menurut Nugroho Notosusanto sejarawan tidak
menangkap objek, yakni hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau, namun hanya
menangkap idea dari hal-hal yang pernah nyata pada masa lampau. Lagi pula yang
memiliki realitas objektif yang sesungguhnya hanyalah benda nyata, yang dapat
ditangkap lebih dari satu indera. Ada pun sejarah adalah proses peristiwa, yang
berarti berbeda dengan realitas objektif. Dengan ini maka pemahaman untuk tugas
sejarawan makin ke arah titik terang, subjektivitas inilah yang akan membuat
seorang peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan
argumentasi yang kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti
sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber atau
pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan
perbandingan dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai
teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan subjektivitas.
3.2 Objektivitas yang tidak objektivistik
Objektivitas
dan objektivistik juga harus dibedakan, objektivitas yang dicapai lewat ilmu
pengetahuan alam baru dapat disebut objektivitas, yang memenuhi
ketentuan-ketentuan ilmu pengetahuan alam. Realitas atau kenyataan yang ditangkap
manusia tidak pernah being-in-itself, sesuatu yang
berada-dalam-dirinya-sendiri atau “sesuatu yang mempunyai existensi merdeka di
luar pikiran manusia.” Dengan ini maka jelas bahwa ‘subjek’ dan ‘objek’ yang
selalu terikat dapat menjauhkan ‘subjek’ dari kesewenang-wenangannya. Begitu
pula sejauh objek tidak didewakan sebagai satu-satunya unsur dan meniadakan
subjek, maka subjek tidak akan berhenti sebagai subjek riel, maka hal yang
objektivistik dapat pula selalu dijauhkan.
Bab IV Subjektivitas Sebagai Dasar Objektivitas
Sesuatu yang berdiri sendiri pada azasnya tiada
kaitan dengan atau terpisah dari sesuatu subjek bukanlah sesuatu yang objektif
namun sesuatu yang objektivistik. Telah jelas bahwa “sejarah serba objek” dan
“sejarah serba subjek” sama sekali tidak dapat dikotomi. Berikut merupakan
cara-cara untuk mengatasi subjektivisme dalam historiografi:
4. 1 Peranan Human Richness
Pertama, peran human richness Keberhasilan
sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh kemampuan intelektual
sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah
syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat
manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap
segala koreksi. Sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya
bertemu dengan beribu fakta, namun juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat
menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami
permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai
nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya.
Sejarawan jika tidak peka terhadap beragam hal
yang berasal dari beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin
ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya,
maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Jaques Maritain sampai menyatakan
bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh individu
peneliti sejarah atau sejarawan, kembali pada ketekunan dan kecerdasannya.
4.2 Titik Berdiri-profil
Ini yang kedua, masing-masing peneliti sejarah
atau sejarawan melihat dari titik berdiri tertentu yang berbeda. Ini bukanlah
pendapat benar atau salah, namun masalah perolehan sesuai dengan titik berdiri
kita. Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain
akibat titik berdiri yang berbeda. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita
berdiri, kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri
tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita
mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.
Singkatnya ini menyangkut profil diri kita, sejauh mana kapasitas intelektual,
ketekunan, kecerdasan, dan kepercayaan, alam pikiran, budaya, kondisi
emosional, hingga “ideologi” kita. Bisa dikatakan “perbedaan titik berdiri”
seluruh manusia adalah keniscayaan, tidak ada yang sama persis.
Hal ini menjadikan kegiatan penelitian sejarah yaitu
interpretasi bukanlah kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek.
Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi
agar dapat mencapai objektivitas. Bukan hanya rasional semata-mata dari
sejarawan, tapi juga factual, ditunjang oleh fakta-fakta, faktanya pun yang
teruji kebenarannya dan harus berkaitan dengan persoalan yang diinterpretasikan.
4. 3 Mengenali anasir sumber distorsi
Ketiga, Mengenali anasir sumber distorsi, hal
ini berarti memahami integritas diri sendiri. Seorang peneliti sejarah atau sejarawan
seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas
dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui
dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.
Dengan mengenal dan memahami diri sendiri, maka
niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan simpang jalan dunia
subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika kita tatap lebih
lanjut, maka kita akan memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman
kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak
diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan
sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong,
memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah
reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya), penyesuaian pada tuntutan-tuntutan
objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila menggunakan
metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang
dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan sebagainya).
Bab V Beberapa Catatan
Dapat
juga dikatakan kesimpulan buku, yang berisi catatan penerangan untuk menerima
tahap akhir metodologi sejarah yaitu historiografi sebagai sesuatu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, serta untuk memudahkan memahami isi buku
yang telah dipaparkan.
5.1 Ilmu sejarah adalah hasil prestasi intelektual Eropa Barat.
Historiografi objektif bermula dari Yunani kuno hingga diterapkannya
teknik-teknik yang semakin sejalan dengan tuntutan-tuntutan perkembangan ilmu
modern. Berbeda dengan sejarawan tradisional Indonesia yang sama sekali belum
kritis dan tidak ada kebutuhan untuk mementingkan fakta. Sejarawan asing jika
membahas sejarah Indonesia dianggap lebih abstrak dan “objektif” karena
dianggap tidak mempunyai ikatan emosional, sedangkan sejarawan Indonesia
terlibat secara konkret eksistensial dengan sasaran studinya.
5.2 Ilmu sejarah berusaha menerangkan masa lampau. Keterangan
sejarah adalah jika dan hanya bersauh kuat pada evidensi objektif sejarah.
Sesuatu adalah kebenaran sejarah karena mempunyai evidensi objektif sejarah.
Tolak ukur kebenaran atau objektivitas sejarah adalah evidensi objektif sejarah,
yakni keniscayaan kebenaran sejarah manifes pada pikiran. Walau begitu, subjektivisme semacam itu bukan
tidak dapat diatasi, jika sejarawan waspada terhadap distorsi di dalam dan dari
luar, waspada terhadap semua anasir yang dapat merupakan sumber distorsi bagi
tercapainya objektivitas sejarah.
5.3 Tidak ada pengetahuan yang tidak bertolak
dari suatu situasi interpretasi, artinya tidak ada pengetahuan yang tidak
bertolak dari “sesuatu yang dipunyai sebelumnya”,”sesuatu yang diingat
sebelumnya”, “sesuatu yang dipegang sebelumnya”. Keterbatasan manusia justru
merangsang sejarawan untuk berjuang ke arah objektivitas sejarah dan hendaknya
merangsang peningkatan subjektivitas sejarawan. Ilmu-ilmu sosial mau tidak mau
akan berhubungan dengan ilmu sejarah, bahkan ilmu sejarah merupakan acuan
proses integrasi ilmu-ilmu sosial, karena seluruh perilaku sosial dan budaya
manusia akan berkaca pada sejarah, yang kemudian digarap ilmu-ilmu sosial.
5.4 Dengan metode subjektivo-objektif, ilmu didasarkan akan
kemungkinannya dan akan konteksnya dalam perspektif rasionalitas yang lebih
luas. Metode subjektivo-objektif dianggap status quo ilmu sejarah. Ilmu
sejarah menerangkan masa lampau sebagaimana adanya atau menangkapnya dengan
kategori-kategori masa kini, namun mengeluarkan pesan dan arti masa lampau
dalam rangka memperoleh kakuatan bagi masa kini serta memahami masa kini dan
menjangkau masa datang, tetapi tidak tanpa ovidensi objektif sejarah. Masa
lampau sebagaimana adanya jelas bukan benda, bukan substansi, karena kalau
benda ia akan dapat dianalisis habis seluruh dan setiap unsurnya, dan
selesailah tugas sejarawan. Kenyataan, masa lampau adalah bagian integral
manusia yang adalah masa lampau-masa kini-masa mendatang. Jadi, realitas
manusia tidak bergerak dari masa kini ke masa kini yang lain. Realitas manusia
bukan realitas yang berkeping-keping, tetapi suatu kesinambungan, dan masa kini
senantiasa menggapai masa depan.
5.5 Kerancuan yang biasa terjadi bertumpu pada anggapan yang luas
beredar, namun de facto telah lupa diri pada fenomena tahu dan pengetahuan manusia.
Pembedaan subjek dan objek adalah momen analitis kesadaran manusia yang lebih
lanjut. Ekspilisitasi fenomenologis fenomena tahu dan pengetahuan menunjukkan
validitas penggunaan metode subjektivo-objektif dalam mendekati kenyataan
sejarah.
Kesimpulan
Dengan
paparan ini semua, metode berpikir fenomenologis untuk perumusan tanggungjawab
ilmiah ilmu sejarah dan historiografi menjadi jelas. Hanya saja yang dapat
dikatakan kekurangan karya ini adalah terlalu memperspektifkan perumusan ilmu
sejarah dan karenanya historiografi dari wawasan intelektual Barat, hal ini
mungkin juga dapat dimaklumi karena kita belum menemukan perumusan ilmu sejarah
dan kebudayaan kita sendiri sekalipun sudah banyak melibatkan para pakar di
Indonesia. Bagaimana pun telaah ilmiah dalam buku ini telah sangat baik
menjelaskan bahwa historiografi dan ilmu sejarah sudah dapat dianggap bagian
dari ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dengan membangun
konstruksi ilmu dan pengetahuan dari sisi fenomenologis.
Oleh: Ilham Marta Syabana (Mahasiswa UNJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar